Seni Rupa/Ukir
Seni Rupa/Ukir Kalimantan Tengah memiliki corak khas dan unik. Hal ini bisa dilihat dari topeng, perisai, bangunan sandung (tempat menyimpan tulang belulang), hulu dan sarung mandau, patung sapundu dan lain-lain.
Sosial Budaya
Penduduk asli Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, suku ini merupakan masyarakat terbesar yang mendiami Propinsi Kalimantan Tengah bersama dengan berbagai suku lain di Indonesia.
Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Sub-sub etnis tersebut antara lain Suku Dayak Ngaju (termasuk Bakumpai dan Mendawai), Ot Danum, Ma’anyan, Lawangan, Siang dan lain-lain.
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan toleransi yang tinggi yang tercermin dalam falsafah Huma Betang. Huma Betang adalah rumah khas Kalteng, berupa rumah besar, dimana dalam satu rumah besar adat (Huma Betang) Dayak Kalimantan Tengah tersebut tinggal bersama-sama bebera pa keluarga dengan segala perbedaannya seperti status sosial, ekonomi maupun aga ma namun tetap hidup secara harmonis.
Gambar: Pakaian adat tradisional putri Dayak.
Sifat gotong royong dalam masyarakat suku Dayak masih tetap terpelihara terutama dalam gerak hidup bermasyarakat yang tercermin dari tradisi kerja Habaring Hurung, Handep dan Harubuh.
Gambar: Huma betang (rumah panjang).
Berbagai ragam dan jenis kesenian tradisional yang masih terpelihara dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah antara lain : Seni Tari, Seni Suara, Seni Rupa, Seni Ukir, dan Seni Anyam-anyaman. Seni Suara berupa lagu -lagu Daerah dikenal dengan istilah : Karungut, Kandan, Parung, Karinci Seni anyaman yang memiliki beragam corak terus dikembang oleh masyarakat sebagai kerajinan rakyat.
Kerajinan anyaman tersebut antara lain yang terbuat dari rotan, bambu, pandan dan purun. Disamping itu juga berkembang berbagai kerajinan etnik (tradisional) yang terbuat purun, getah nyatu serta bahan kayu. Seni ukir dapat disaksikan pada pembuatan benda-benda seperti Talawang (Peri- sai), bangunan Sandung, hulu dan sarung senjata khas Da- yak Mandau, patung (Sapundu) dan bangunan pada rumah rumah adat.
Disamping berbagai kerajinan Kalimantan Tengah juga kaya akan berbagai kegiatan upacara adat / ritual seperti Tiwah, Manyanggar, Mamapas Lewu (bersih desa), Mampakanan Sahur Parapah.Tiwah merupakan upacara ritual agama Kaharingan, yaitu mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu Tatau (sorga). Acara ini memakan waktu yang cukup lama sekitar satu bulan atau lebih.
Gambar: Sandung (tempat menyimpan tulang belulang orang mati).
Sumpit yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut ‘sipet’ merupakan senjata tradisional yang sudah dikenal sejak jaman dahoeloe kala. Sipet terbuat dari kayu ulin yang dibentuk dan dilobangi bagian dalamnya sehingga menyerupai pipa lurus, dengan ukuran diameter bagian luar sekitar 3 cm, diameter rongga dalam sekitar 0,75 cm dan panjang sekitar 200 cm. Setelah diraut dan digosok sampai rapi, biasanya kayu ulin tersebut menjadi berwarna hitam mengkilat sehingga permukaannya mirip seperti logam. Pada bagian ujung depan pipa tadi dipasang dua macam aksesori yang terbuat dari besi, yaitu di sisi sebelah bawah dipasang mata tombak yang tajam, dan pada sisi sebelah atas dipasang besi kecil menyerupai pisir pada ujung laras senjata api, yang berguna sebagai alat bantu untuk membidik sasaran. Kedua aksesori tersebut dilekatkan pada batang sipet menggunakan rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, kuat dan artistik. Bagian permukaan batang sipet terkadang dihiasi dengan ukiran relief atau ornamen dengan motif khas Dayak.
Kegunaan utama sipet adalah sebagai senjata atau alat berburu, walaupun bisa juga digunakan sebagai senjata pada saat berperang. Sebagai senjata, ia dilengkapi dengan peluru yang dimasukkan ke dalam lobang laras dan dilontarkan ke arah sasaran dengan cara ditiup menggunakan mulut. Jenis pelurunya ada 2 macam. Jenis pertama terbuat dari tanah liat dalam keadaan setengah basah dibentuk berupa bola-bola kecil sebesar ukuran lubang laras, biasanya digunakan untuk jarak dekat (sekitar 5 meter) untuk berburu binatang kecil misalnya tupai dan burung-burung yang terbang rendah. Jenis peluru yang kedua disebut damek atau lahes, terbuat dari bilah bambu yang diruncingkan seperti anak panah dan di bagian belakangnya dipasang potongan kayu gabus untuk mengatur arah, kurang lebih berfungsi sama dengan bulu angsa yang dipasang pada shuttlecock (bola badminton). Lahes tersebut dibuat dalam jumlah banyak, disimpan di dalam tabung bambu yang sudah diisi dengan cairan ‘bisa atau racun’ dari binatang liar, sehingga apabila melukai sedikit saja tubuh hewan sasaran akan langsung mematikan. Biasanya lahes digunakan untuk berburu hewan yang lebih besar, misalnya kancil, kijang atau hewan primata (misalnya monyet dll) yang tinggal di atas pohon-pohon tinggi.
Suatu hal yang unik pada sumpit ialah ketika pelurunya dilontarkan menuju sasaran, tidak akan terdengar bunyi apapun yang membuat sasarannya mengetahui dari mana sumber asal serangan. Hal ini berbeda dengan senapan atau senjata api. Konon hal ini jugalah yang membuat Belanda kewalahan dalam perang gerilya melawan suku Dayak di Kalimantan. Kita tahu bahwa sebagai bangsa Eropah, orang Belanda itu mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap setiap hal yang belum dimengerti olehnya. Suatu ketika pasukan serdadu Belanda melintasi hutan. Kebetulan tidak jauh dari situ ada beberapa orang suku Dayak sedang mengintai. Merekapun melontarkan peluru sumpit dari tanah liat yang sengaja diarahkan pada sebatang pohon di depan salah seorang serdadu Belanda. Para serdadu tadi langsung berkerumun meneliti benda apakah gerangan yang tiba-tiba melesat di depan hidungnya. Ketika mereka asyik berkerumun itulah mereka diserang dengan peluru beneran, yaitu lahes yang mengandung racun.
Pada masa kini, anak-anak Dayak di daerah pedalaman Kalimantan masing sering bermain perang-perangan menggunakan ‘sumpit-sumpitan’ yang terbuat dari ruas bambu kecil dengan peluru tanah liat. Meskipun maksudnya cuma sekedar main-main tapi sesekali peluru tanah tersebut sering juga tanpa disengaja mengenai tubuh lawan.
Seni dan Budaya
Seni Tari
Kalimantan Tengah memiliki beragam jenis tarian tradisional yang memiliki nilai seni yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah tari Manasai, sebuah tarian sebagai ucapan ”Selamat Datang” kepada para tamu yang berkunjung.
Seni Rupa/Ukir
Seni Rupa/Ukir Kalimantan Tengah memiliki corak khas dan unik. Hal ini bisa dilihat dari topeng, perisai, bangunan sandung (tempat menyimpan tulang belulang), hulu dan sarung mandau, patung sapundu dan lain-lain.
Seni Suara
Dalam hal Seni Suara Kalimantan Tengah memiliki lagu-lagu daerah seperti : Karungut, Leot, Sansana, Deder,dan lain-lain.
Seni Anyaman/Kerajinan
Kalimantan Tengah memiliki beragam jenis kerajinan rakyat yang berbahan rotan, pandan, purun, getah nyatu serta perhiasan dari batu alam Kalimantan Tengah lain yang sangat menarik untuk dijadikan Souvenir (Cenderamata).
Senjata Khas/Tradisional
Suku Dayak memiliki senjata khas/tradisional seperti : Mandau, Sipet (Sumpitan), Lunjo (Lembang), Duhung (sejenis keris), semua memiliki bentuk dan artistik yang cukup tinggi.
Transportasi Tradisional
Sesuai kondisi alamnya, Suku Dayak banyak menggunakan perahu sebagai jenis transportasi. Jenis-jenis perahu tradisional Suku Dayak : Jukung Rangkan dan Banama.
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah.
Seni Rupa/Ukir Kalimantan Tengah memiliki corak khas dan unik. Hal ini bisa dilihat dari topeng, perisai, bangunan sandung (tempat menyimpan tulang belulang), hulu dan sarung mandau, patung sapundu dan lain-lain.
Sosial Budaya
Penduduk asli Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, suku ini merupakan masyarakat terbesar yang mendiami Propinsi Kalimantan Tengah bersama dengan berbagai suku lain di Indonesia.
Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Sub-sub etnis tersebut antara lain Suku Dayak Ngaju (termasuk Bakumpai dan Mendawai), Ot Danum, Ma’anyan, Lawangan, Siang dan lain-lain.
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah mempunyai sifat keterbukaan dan toleransi yang tinggi yang tercermin dalam falsafah Huma Betang. Huma Betang adalah rumah khas Kalteng, berupa rumah besar, dimana dalam satu rumah besar adat (Huma Betang) Dayak Kalimantan Tengah tersebut tinggal bersama-sama bebera pa keluarga dengan segala perbedaannya seperti status sosial, ekonomi maupun aga ma namun tetap hidup secara harmonis.
Gambar: Pakaian adat tradisional putri Dayak.
Sifat gotong royong dalam masyarakat suku Dayak masih tetap terpelihara terutama dalam gerak hidup bermasyarakat yang tercermin dari tradisi kerja Habaring Hurung, Handep dan Harubuh.
Gambar: Huma betang (rumah panjang).
Berbagai ragam dan jenis kesenian tradisional yang masih terpelihara dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah antara lain : Seni Tari, Seni Suara, Seni Rupa, Seni Ukir, dan Seni Anyam-anyaman. Seni Suara berupa lagu -lagu Daerah dikenal dengan istilah : Karungut, Kandan, Parung, Karinci Seni anyaman yang memiliki beragam corak terus dikembang oleh masyarakat sebagai kerajinan rakyat.
Kerajinan anyaman tersebut antara lain yang terbuat dari rotan, bambu, pandan dan purun. Disamping itu juga berkembang berbagai kerajinan etnik (tradisional) yang terbuat purun, getah nyatu serta bahan kayu. Seni ukir dapat disaksikan pada pembuatan benda-benda seperti Talawang (Peri- sai), bangunan Sandung, hulu dan sarung senjata khas Da- yak Mandau, patung (Sapundu) dan bangunan pada rumah rumah adat.
Disamping berbagai kerajinan Kalimantan Tengah juga kaya akan berbagai kegiatan upacara adat / ritual seperti Tiwah, Manyanggar, Mamapas Lewu (bersih desa), Mampakanan Sahur Parapah.Tiwah merupakan upacara ritual agama Kaharingan, yaitu mengantarkan arwah orang yang telah meninggal ke Lewu Tatau (sorga). Acara ini memakan waktu yang cukup lama sekitar satu bulan atau lebih.
Gambar: Sandung (tempat menyimpan tulang belulang orang mati).
Sumpit yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut ‘sipet’ merupakan senjata tradisional yang sudah dikenal sejak jaman dahoeloe kala. Sipet terbuat dari kayu ulin yang dibentuk dan dilobangi bagian dalamnya sehingga menyerupai pipa lurus, dengan ukuran diameter bagian luar sekitar 3 cm, diameter rongga dalam sekitar 0,75 cm dan panjang sekitar 200 cm. Setelah diraut dan digosok sampai rapi, biasanya kayu ulin tersebut menjadi berwarna hitam mengkilat sehingga permukaannya mirip seperti logam. Pada bagian ujung depan pipa tadi dipasang dua macam aksesori yang terbuat dari besi, yaitu di sisi sebelah bawah dipasang mata tombak yang tajam, dan pada sisi sebelah atas dipasang besi kecil menyerupai pisir pada ujung laras senjata api, yang berguna sebagai alat bantu untuk membidik sasaran. Kedua aksesori tersebut dilekatkan pada batang sipet menggunakan rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga terlihat rapi, kuat dan artistik. Bagian permukaan batang sipet terkadang dihiasi dengan ukiran relief atau ornamen dengan motif khas Dayak.
Kegunaan utama sipet adalah sebagai senjata atau alat berburu, walaupun bisa juga digunakan sebagai senjata pada saat berperang. Sebagai senjata, ia dilengkapi dengan peluru yang dimasukkan ke dalam lobang laras dan dilontarkan ke arah sasaran dengan cara ditiup menggunakan mulut. Jenis pelurunya ada 2 macam. Jenis pertama terbuat dari tanah liat dalam keadaan setengah basah dibentuk berupa bola-bola kecil sebesar ukuran lubang laras, biasanya digunakan untuk jarak dekat (sekitar 5 meter) untuk berburu binatang kecil misalnya tupai dan burung-burung yang terbang rendah. Jenis peluru yang kedua disebut damek atau lahes, terbuat dari bilah bambu yang diruncingkan seperti anak panah dan di bagian belakangnya dipasang potongan kayu gabus untuk mengatur arah, kurang lebih berfungsi sama dengan bulu angsa yang dipasang pada shuttlecock (bola badminton). Lahes tersebut dibuat dalam jumlah banyak, disimpan di dalam tabung bambu yang sudah diisi dengan cairan ‘bisa atau racun’ dari binatang liar, sehingga apabila melukai sedikit saja tubuh hewan sasaran akan langsung mematikan. Biasanya lahes digunakan untuk berburu hewan yang lebih besar, misalnya kancil, kijang atau hewan primata (misalnya monyet dll) yang tinggal di atas pohon-pohon tinggi.
Suatu hal yang unik pada sumpit ialah ketika pelurunya dilontarkan menuju sasaran, tidak akan terdengar bunyi apapun yang membuat sasarannya mengetahui dari mana sumber asal serangan. Hal ini berbeda dengan senapan atau senjata api. Konon hal ini jugalah yang membuat Belanda kewalahan dalam perang gerilya melawan suku Dayak di Kalimantan. Kita tahu bahwa sebagai bangsa Eropah, orang Belanda itu mempunyai rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap setiap hal yang belum dimengerti olehnya. Suatu ketika pasukan serdadu Belanda melintasi hutan. Kebetulan tidak jauh dari situ ada beberapa orang suku Dayak sedang mengintai. Merekapun melontarkan peluru sumpit dari tanah liat yang sengaja diarahkan pada sebatang pohon di depan salah seorang serdadu Belanda. Para serdadu tadi langsung berkerumun meneliti benda apakah gerangan yang tiba-tiba melesat di depan hidungnya. Ketika mereka asyik berkerumun itulah mereka diserang dengan peluru beneran, yaitu lahes yang mengandung racun.
Pada masa kini, anak-anak Dayak di daerah pedalaman Kalimantan masing sering bermain perang-perangan menggunakan ‘sumpit-sumpitan’ yang terbuat dari ruas bambu kecil dengan peluru tanah liat. Meskipun maksudnya cuma sekedar main-main tapi sesekali peluru tanah tersebut sering juga tanpa disengaja mengenai tubuh lawan.
Seni dan Budaya
Seni Tari
Kalimantan Tengah memiliki beragam jenis tarian tradisional yang memiliki nilai seni yang tinggi. Salah satu diantaranya adalah tari Manasai, sebuah tarian sebagai ucapan ”Selamat Datang” kepada para tamu yang berkunjung.
Seni Rupa/Ukir
Seni Rupa/Ukir Kalimantan Tengah memiliki corak khas dan unik. Hal ini bisa dilihat dari topeng, perisai, bangunan sandung (tempat menyimpan tulang belulang), hulu dan sarung mandau, patung sapundu dan lain-lain.
Seni Suara
Dalam hal Seni Suara Kalimantan Tengah memiliki lagu-lagu daerah seperti : Karungut, Leot, Sansana, Deder,dan lain-lain.
Seni Anyaman/Kerajinan
Kalimantan Tengah memiliki beragam jenis kerajinan rakyat yang berbahan rotan, pandan, purun, getah nyatu serta perhiasan dari batu alam Kalimantan Tengah lain yang sangat menarik untuk dijadikan Souvenir (Cenderamata).
Senjata Khas/Tradisional
Suku Dayak memiliki senjata khas/tradisional seperti : Mandau, Sipet (Sumpitan), Lunjo (Lembang), Duhung (sejenis keris), semua memiliki bentuk dan artistik yang cukup tinggi.
Transportasi Tradisional
Sesuai kondisi alamnya, Suku Dayak banyak menggunakan perahu sebagai jenis transportasi. Jenis-jenis perahu tradisional Suku Dayak : Jukung Rangkan dan Banama.
SENJATA TRADISIONAL
Mandau
Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau
besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan
“daerah asal” orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar
(Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Di kalangan orang Dayak sendiri,
satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Namun
demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak
yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini
tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun sang pemilik pergi
mandau akan selalu dibawa karena berfungsi sebagai simbol kehormatan
atau jati diri.
Zaman dahulu mandau dianggap memiliki
unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti
perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara.
Mandau dipercayai memiliki
tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak
hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual
tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala
lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang
berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya
sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagang mandau. Mereka
percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, rohnya akan mendiami
mandau tersebut sehingga menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau
sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang
koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan
bertani.
Struktur Mandau
1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Pembuatan bilah mandau diawali dengan
membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang
digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin karena dapat
menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu
lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah
mandau ditaruh diatas bara tersebut agar memuai. Kemudian, ditempa
menggunakan palu.
Penempaan dilakukan secara berulang-ulang
hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah
terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan
gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon,
banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang
pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara
membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu
berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu,
barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
3. Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai BudayaSarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah.
Talawang
Talawang adalah alat yang digunakan oleh suku Dayak untuk pertahanan diri atau pelindung diri dari serangan musuh.
Talawang dibuat dari bahan kayu yang
ringan tetapi kuat. Bentuknya segi enam memanjang dengan ukuran panjang
kurang lebih 1 meter dan lebarnya kurang lebih 0,5 meter dengan
perkiraan dapat menutupi dada manusia guna menangkis mandau atau tombak
musuh apabila terjadi perkelahian dalam perang. Keseluruhan bidang depan
talawang biasanya diukir bentuk topeng (hudo), lidah api, dan pilin
ganda.
Selain sebagai pelengkap alat pertahanan diri, talawang juga digunakan sebagai pelengkap dalam tari-tarian.